Setiap pusat pertumbuhan ekonomi akan mempunyai daerah penarikan dan daerah penolakan sampai batas tertentu, sehingga dalam suatu wilayah yang luas akan terbentuk gugusan-gugusan pusat pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) masing-masing. Dalam ilmu ekonomi regional teori pusat pertumbuhan ekonomi dinyatakan sebagai salah satu instrumen pembangunan wilayah yang cukup baik karena dapat menimbulkan beraneka efek atau dampak yang positif terhadap pembangunan wilayah yang ada disekitarnya (Richardson, 2001).
Sebagian besar di daerah pedesaan rakyat hidup pada sektor pertanian dan sektor ini masih memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian daerah, maka pemberdayaan ekonomi rakyat juga berarti membangun ekonomi pedesaan dengan lebih baik.Sektor pertanian (agribisnis) sebagai sektor ekonomi rakyat di pedesaan memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan lebih lanjut, baik untuk memperkuat ekonomi rakyat, maupun sebagai andalan Indonesia dalam perdagangan bebas. Pembangunan ke depan tidak bisa meremehkan pembangunan pedesaan melalui pengembangan sektor pertanian. Hal tersebut disebabkan sektor pertanian mempunyai peluang untuk dikembangkan di masa datang, antara lain: 1) Penduduk yang semakin bertambah sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, ini merupakan peluang pasar yang baik bagi pelaku agribisnis; 2) Meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan kebutuhan pangan berkualitas dan beragam (diversifikasi). Keragaman produk menuntut adanya pengolahan hasil (agroindustri); dan 3) Perkembangan agribisnis juga akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya diharapkan akan mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.
Kendala yang di hadapi dalam mengembangkan sektor pertanian di desa. Pertama, lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan. Salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani adalah modal. Besar-kecilnya skala usaha yang dilakukan tergantung dari pemilikan modal. Kedua, ketersediaan lahan dan masalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah si pedesaan sebagai faktor produksi utama dalam pertanian makin bermasalah. Permasalahannya bukan saja menyangkut makin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan petani, tetapi juga berkaitan dengan perubahan perilaku petani dalam berusaha tani. Ketiga, pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Sarana produksi sangat diperlukan dalam proses produksi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengadaan sarana produksi di pedesaan itu bukan hanya menyangkut ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, tetapi yang lebih penting adalah jenis dan kualitasnya. Keempat, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi. usaha pertanian di pedesaan merupakan suatu proses yang memerlukan jangka waktu tertentu. Kelima, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani. Organisasi merupakan wadah yang sangat penting dalam masyarakat, terutama kaitannya dengan penyampaian informasi (top down) dan panyaluran inspirasi (bottom up) para anggotanya. Dalam pertanian organisasi yang tidak kalah pentingnya adalah kelompok tani. Keenam, kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis. Petani merupakan sumberdaya manusia yang memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu kegiatan usaha tani, karena petani merupakan pekerja dan sekaligus manajer dalam usaha tani itu sendiri.
Salah satu kabupaten yang merasakan ketimpangan dan banyaknya daerah tertinggal di provinsi Riau adalah Kabupaten Kepulauan Meranti. Kabupaten tersebut merupakan pemekaran dari kabupaten induk yakni Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu kabupaten otonomi baru yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009. Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki 5 (lima) kecamatan dengan luas daerah 3.707.84 km2. Jumlah penduduk sebanyak 216.329 jiwa. Berdasarkan data dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti (Tabel 1) di daerah tersebut terdapat 73 desa. Sebagian besar dari desa yang ada yakni sebanyak 59 desa (80,82 persen) merupakan desa tertinggal. Jumlah rumah tangga sebanyak 45.564 KK, dan sebesar 34,84 persen (15.876 KK) merupakan rumah tangga miskin. Banyaknya desa tertinggal dan keluarga prasejahtera di daerah ini merupakan indikasi bahwa pembangunan ekonomi selama ini (semasa bergabung dengan kabupaten induk) belum menyentuh rakyat lapisan bawah.
Menurut Syahza (2007b), pembangunan pedesaan harus dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan sifat dan cirinya. Pembangunan pedesaan harus mengikuti empat upaya besar, satu sama lain saling berkaitan dan merupakan strategi pokok pembangunan pedesaan, yaitu: Pertama, memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Dalam upaya ini diperlukan masukan modal dan bimbingan-bimbingan pemanfaatan teknologi dan pemasaran untuk memampukan dan memandirikan masyarakat desa; Kedua, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pedesaan agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat produktivitas dan daya saing; Ketiga, pembangunan prasarana di pedesaan. Untuk daerah pedesaan prasarana perhubungan merupakan kebutuhan yang mutlak, karena prasarana perhubungan akan memacu ketertinggalan masyarakat pedesaan; dan keempat, membangun kelembagaan pedesaan baik yang bersifat formal maupun nonformal. Kelembagaan yang dibutuhkan oleh pedesaan adalah terciptanya pelayanan yang baik terutama untuk memacu perekonomian pedesaan seperti lembaga keuangan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu akan mencerminkan distribusi pendapatan yang adil dan merata karena pertumbuhan ekonomi ini bisa saja hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, terutama di perkotaan, sedangkan masyarakat pedesaan mendapat porsi yang kecil dan tertinggal. Berdasarkan data yang ada, di daerah Riau terjadi kesenjangan (disparitas) terutama antar daerah dan sektor serta antar golongan masyarakat. Demikian juga kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan serta antar golongan dalam masyarakat. Kesenjangan ini cukup berbahaya karena menyimpan potensi konflik kerusuhan dan kecemburuan sosial yang pada gilirannya membahayakan kestabilan nasional. Penyebab kesenjangan ekonomi di dalam negeri adalah kebijakan-kebijakan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pemodal industri di kota-kota besar ketimbang rakyat pedesaan.
Menurut Kementrian Keuangan RI, upaya untuk mengatasi ketidak merataan ekonomi yaitu dengan cara, pertama, Menko menjelaskan terkait akses terhadap lahan, pemerintah akan melaksanakan reforma agraria dan hutan sosial melalui pendekatan klaster, berbasis komoditi unggulan. Pemerintah juga akan meredistribusi lahan sebagai modal masyarakat menengah ke bawah, sertifikasi legalisasi aset, implementasi kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta menyediakan hunian penduduk miskin perkotaan. Kedua, Sementara untuk peningkatan kualitas SDM, pemerintah menyasar reformasi pendidikan dan pelatihan tenaga kerja menjadi pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis pekerjaan. Dimulai dari sektor industri, diikuti sektor jasa dan pertanian, melalui kerjasama Pemerintah, BUMN dan swasta. Selain itu, pemerintah juga akan menitikberatkan pada area kewirausahaan untuk mendorong terciptanya pengusaha-pengusaha baru yang mempunyai daya saing. Pemerintah akan mendorong pelaku usaha mikro dan kecil berkembang menjadi pelaku usaha menengah dan besar. Ketiga, Sedangkan untuk area kebijakan yang ketiga, mengenai kesempatan bekerja/berusaha, pemerintah akan melakukan reformulasi dan penajaman kebijakan pengembangan industri manufaktur, pariwisata, perdagangan dan perikanan. Selain itu, pemerintah juga akan mentransformasi skema subsidi secara bertahap menjadi bantuan tepat sasaran, tepat waktu dan tepat jumlah, serta menyatukannya dengan semua bentuk Bantuan Sosial.
Manfaat pembangunan yang dapat dirasakan sampai pada masyarakat termiskin berkorelasi dengan ketimpangan yang lebih rendah. Indikator-indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah akses rumah tangga yang lebih baik terhadap listrik, rasio fasilitas kesehatan terhadap jumlah penduduk yang lebih baik, rata-rata lama sekolah penduduk desa yang lebih tinggi, dan koperasi yang tersedia di desa.
Pembangunan memang tidak bisa secara otomatis mengentaskan masyarakat miskin dan rentan dari kemiskinan dan mendorong mereka mendaki tangga kesejahteraan agar tercapai kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat. Langkah-langkah afirmatif yang secara khusus ditujukan kepada masyarakat miskin dan rentan diperlukan untuk memastikan bahwa mereka juga dapat merasakan manfaat pembangunan. Tanpa mengutamakan inklusi kelompok miskin dan rentan, pembangunan di tengah struktur sosial yang hierarkis hanya akan disambut oleh masyarakat yang sudah memiliki sumber daya komprehensif dalam hal pengetahuan, finansial, informasi, dan jejaring sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika pembangunan di perdesaan hanya akan melanggengkan ketimpangan.
Penulis : Shila Rahma Nanda Putri
Sumber Gambar : Wartaekonomi
Sumber Artikel :
Syahza, A., & Suarman, S. (2013). Strategi pengembangan daerah tertinggal dalam upaya percepatan pembangunan ekonomi pedesaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan, 14(1), 126-139.
Syahza, A., & Suarman, S. (2014). Model Pengembangan Daerah Tertinggal Dalam Upaya Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan. EKUITAS (Jurnal Ekonomi dan Keuangan), 18(3), 365-386.
kementrian keuangan RI
Smeru research institute