Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2024–2025: Analisis 5W+1H terhadap Perlambatan dan Strategi Pemulihan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

KSEI UIN SAIZU PURWOKERTO
6 Min Read

Selama tahun 2024 hingga awal 2025 mengalami perlambatan yang moderat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,03% (year-on-year) sepanjang 2024, sedikit menurun dari capaian tahun sebelumnya sebesar 5,05%. Sementara itu, pada kuartal I tahun 2025, pertumbuhan lebih lanjut melambat ke angka 4,87% dengan kontraksi kuartalan sebesar -0,98%. Sektor pertanian, informasi dan komunikasi, serta jasa keuangan masih menunjukkan kinerja positif, namun sektor industri pengolahan, perdagangan, dan konsumsi rumah tangga menghadapi tekanan serius akibat dinamika global dan domestik.

Perlambatan ini disebabkan oleh sejumlah faktor utama. Ketidakpastian global, termasuk perlambatan ekonomi mitra dagang utama seperti Tiongkok dan konflik geopolitik di beberapa kawasan, turut mempengaruhi stabilitas perdagangan dan arus investasi (Utami & Fitriani, 2021). Di sisi domestik, melemahnya konsumsi rumah tangga menjadi faktor krusial, mengingat konsumsi adalah kontributor terbesar terhadap PDB Indonesia. Inflasi pangan, kenaikan harga energi, dan kekhawatiran terhadap stabilitas pekerjaan memperburuk daya beli masyarakat. Penurunan investasi asing menjelang transisi pemerintahan dan kondisi moneter global yang masih ketat menambah tekanan pada nilai tukar rupiah dan arus modal (Sari & Nugroho, 2023).

Tren perlambatan ini mulai terasa sejak pertengahan hingga akhir 2024 dan berlanjut pada awal 2025. Proyeksi hingga akhir tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 4,7% hingga 5,0%, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,2%. Ini menandakan perlunya strategi pemulihan yang lebih konkret dan terarah untuk menjaga momentum pertumbuhan dalam jangka menengah.

Dampak perlambatan ekonomi menyebar ke berbagai sektor dan wilayah. Sektor perdagangan dan manufaktur yang berorientasi ekspor terdampak akibat menurunnya permintaan global. Di wilayah perkotaan besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, aktivitas konsumsi menurun karena meningkatnya biaya hidup. Namun demikian, wilayah pertanian di luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan masih mencatatkan pertumbuhan positif, terutama dari sektor ekspor komoditas seperti kelapa sawit dan karet (Rahman et al., 2020). Industri digital dan komunikasi tetap tumbuh pesat di daerah yang memiliki infrastruktur konektivitas yang memadai.

Kelompok masyarakat yang paling terdampak dari perlambatan ini adalah mereka yang berada di lapisan menengah ke bawah. Kenaikan harga kebutuhan pokok sangat mempengaruhi daya beli mereka. Pelaku UMKM juga menghadapi tantangan berat akibat penurunan permintaan dan keterbatasan akses pembiayaan (Andriani & Yusuf, 2022). Selain itu, investor domestik maupun asing cenderung menunda keputusan investasi sambil menunggu arah kebijakan baru dari pemerintahan yang sedang transisi. Pemerintah daerah pun merasakan dampaknya dengan berkurangnya dana transfer pusat dan menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menanggapi situasi ini, pemerintah dan Bank Indonesia mengambil berbagai langkah kebijakan. Dari sisi moneter, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75% untuk mendorong konsumsi dan investasi domestik serta menjaga stabilitas nilai tukar (Bank Indonesia, 2025). Dari sisi fiskal, pemerintah mengalokasikan anggaran secara lebih efisien untuk mendukung program sosial prioritas seperti “Makan Bergizi Gratis”, perumahan rakyat, dan subsidi UMKM. Peluncuran Dana Investasi Danantara sebagai sovereign wealth fund bertujuan menarik investasi jangka panjang ke sektor strategis seperti energi dan infrastruktur (Setiawan & Dewi, 2023).

Pemerintah juga melanjutkan reformasi struktural dengan menyederhanakan perizinan usaha, memperkuat sistem logistik nasional, serta mendorong digitalisasi UMKM. Di sektor industri, hilirisasi komoditas seperti nikel dan bauksit diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah ekspor dan membuka lapangan kerja. Program padat karya dan pembangunan infrastruktur dasar di daerah tertinggal turut menjadi bagian dari upaya menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan merata.

Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, ekonomi Indonesia tetap menunjukkan resiliensi yang kuat. Stabilitas makroekonomi yang terjaga, bonus demografi, dan potensi ekonomi digital menjadi modal penting untuk bangkit kembali. Jika kebijakan yang diterapkan bersifat inklusif dan berorientasi jangka panjang, bukan tidak mungkin Indonesia akan mampu menembus kembali angka pertumbuhan di atas 5% dalam waktu dekat dan melanjutkan transformasinya menuju negara berpendapatan menengah atas secara berkelanjutan.

Daftar Isi

Andriani, D., & Yusuf, M. (2022). Dampak Pandemi dan Inflasi terhadap UMKM di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan, 22(2), 145–160.

Bank Indonesia. (2025). Laporan Kebijakan Moneter Triwulan I Tahun 2025. Jakarta: BI Press.

Rahman, M. A., Siregar, M., & Hidayati, L. (2020). Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Peran Ekspor Komoditas Primer. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 11(3), 210–225.

Sari, I., & Nugroho, R. (2023). Stabilitas Nilai Tukar dan Arus Modal dalam Ketidakpastian Global. Jurnal Ekonomi Global, 6(1), 51–68.

Setiawan, D., & Dewi, L. A. (2023). Reformasi Fiskal dan Optimalisasi Dana Investasi Negara. Jurnal Kebijakan Fiskal dan Investasi, 5(1), 77–89.

Utami, S., & Fitriani, R. (2021). Dampak Ketidakpastian Ekonomi Global terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, 25(1), 34–47.

Penulis : Abdan Sifa, Risma Afni Zakiah, Dwi Ramdoni

Share this Article
Leave a comment