Oleh: Ahmad Hanif Abdul R.
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Juara Lomba Opini Ekonomi Syariah FoSSEI
Pertanian Dalam Sejarah
Pertanian sebagai salah satu produk sejarah perkembangan peradaban manusia, hipotesis oasis hasil pemikiran Raphael Pumpelly menyatakan dalam masa berkahirnya zaman es penduduk dunia yang terdampak oleh iklim yang kering cenderung berkumpul pada sumber-sumber air. Ketergantungan manusia dengan sumber air menggeser pola pengambilan bahan-bahan konsumsi langsung dari alam menjadi pengadaan bahan konsumsi pada sekitaran tempat tinggal yang berakibat menjamurnya perkampungan sebagai sumber-sumber peradaban pada saat ini. Begitulah kiranya pertanian berdampak signifikan pada kahidupan.
Pertanian Dalam Islam
Islam ada sebagai sebuah ideologi yang menyeluruh, menjadi sebuah “isme” yang mencakup segala hal, tanpa perlu adanya ideologi lain islamisme sudah sempurna sejak asalnya. Lalu apa ada tempat bagi pertanian dalam islam?.
Dalam islam terdapat banyak anjuran mengenai bercocok tanam, salah satunya hadits dari sahabat Jabir bin Abdullah, dari nabi SAW, beliau bersabda: “tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat”. selain dapat memberikan manfaat keduniawian sebagai bahan konsumsi, bertani juga memberikan manfaat ukhrowi dalam bentuk pahala sedekah.
Imam as-syaibani, seorang murid abu hanifah yang juga menjabat sebagai hakim pada masa abbasiyah di baghdad turut memiliki pemikiran tentang pertanian. Dalam kitabnya, al-kasb, beliau membagikan usaha perekonomian menjadi 4: sewa menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Dari 4 klasifikasi di atas Imam As-Syaibani lebih memprioritaskan pada usaha pertanian. Usaha pertanian menurutnya memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat berarti dalam menunjang pelaksanaan berbagai kewajiban.
Dalam bahasan fiqh muamalah pun, terdapat akad-akad yang dikhususkan penggunaanya dalam praktek pertanian seperti muzaroah, musaqoh, dan mukhobaroh.
Sejalan dengan pemaparan sebelumnya, dalam fiqh terdapat kaidah yang berbunyi: “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwal wajib”, arti kaidah tersebut adalah apa saja yang tidak menyempurnakan suatu hal yang wajib kecuali dengan terpenuhinya kekurangan itu, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib. Bagaimana anda dapat menjalankan kewajiban anda sebagai muslim tanpa adanya hal penunjang seperti kebutuhan dasar manusia?, maka dengan pertanian seorang muslim dapat memaksimalkan pelaksanaan kewajiban.
Pertanian di Indonesia
Siapa bisa menyangkal jika Indonesia memiliki potensi pertanian tinggi, sederhananya tergambar pada lirik tembang milik koes plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Tapi, mari kita lihat lebih dalam.
Sebagai sampel, data terakhir dari BPS terkait luas lahan persawahan di Indonesia seluas 8.112.103 Ha dengan hasil produksi padi mencapai 75.397.841 ton, jumlah penduduk saat ini adalah sekitar 250 juta dengan konsumsi beras 114 per kapita/tahun.
Apakah mencukupi?, jelas tidak. Kebijakan impor alih-alih menjadi solusi, hal ini hanya menjadi “pengurang rasa sakit” karena tidak menyelesaikan masalah pokok. Ketergantungan impor juga dihadapkan pada anomali kondisi negara pengekspor, di saat negara asal ternyata membutuhkan stok beras lebih tentunya akan mengurangi jumlah beras yang datang ke Indonesia.
Akhirnya slogan swasembada pun mentok pada konsep, 60 tahun lebih Indonesia berganti-ganti pemimpin dengan membawa penyakit menahun yang turun menurun.
Sumbangan Islam sebagai solusi
Dalam hal pertanian, fiqh telah menghasilkan beberapa produk akad yang dapat diterapkan salah satunya yaitu akad salam, akad antara konsumen dan petani sebagai produsen yang mana konsumen diwajibkan membayar di awal akad sebagai modal bagi petani untuk memproduktifkan lahannya dan petani menyerahkan hasil kerjanya di akhir. Dengan akad ini permodalan bagi petani Indonesia yang mayoritas berada di kelas ekonomi menengah ke bawah dapat teratasi. Berbeda pula dengan praktek tebas atau ijon yang lazim digunakan di masyarakat, akad ini lebih memberikan perlindungan pada kedua pihak dengan penentuan spesifikasi hasil pertanian yang dinyatakan sedari awal.
Salah satu upaya nyata yang menginspirasi adalah program KKP(kepemilikan kebun produktif) dengan Bapak Muhaimin Iqbal sebagai insiator, singkatnya founder KKP bertujuan menghindari banyak lahan menganggur yang disebabkan penurunan minat generasi sekarang untuk terjun bercocok tanam. Masyarakat yang tak memiliki ilmu, kemampuan, dan waktu untuk bertani juga memiliki kesempatan untuk ikut serta. Mula-mula KKP menawarkan lahan-lahan menganggur kepada masyarakat, setelah lahan terjual, pengelolaan hingga pemasaran bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri ataupun diserahkan pengelolaannya kepada tim KKP yang insyaallah kompeten, dan hasilnya dibagi sesuai dengan akad syirkah yang adil . Selain memberikan imbal hasil investasi, gerakan seperti ini juga membantu pemenuhan kebutuhan pokok, mengurangi lahan menganggur dan menambah lapangan kerja.
Besar harapan dalam waktu cepat produksi pertanian dalam negeri dapat mencukupi kebutuhan dasar warganya dan masyarakat dapat bekerja secara produktif dan bebas tanpa tanggungan pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup. Wallahu ‘alam.