Indonesia, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, sangat bergantung pada ekspor komoditas untuk menopang pertumbuhannya. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, nilai ekspor Indonesia mencapai 258.774,4 juta dolar AS. Kondisi ini menghadapi tantangan besar karena fluktuasi harga komoditas global. Selama bertahun-tahun, batu bara, minyak kelapa sawit, dan minyak bumi telah menjadi sumber pendapatan utama bagi negara, tetapi ketidakpastian harga di pasar global menimbulkan ancaman bagi stabilitas ekonomi.
Selama tahun 2023, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan yang signifikan, meskipun lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 36,93 miliar USD. Hal tersebut menunjukkan adanya tekanan pada perekonomian, terutama di tengah perlambatan permintaan global. Hal ini memerlukan langkah strategis dari pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi dan menghindari ketergantungan pada komoditas ekspor yang rentan. Penyebab utama penurunan ini adalah turunnya harga beberapa komoditas ekspor non-migas. Berdasarkan Kementerian Perdagangan November 2023, beberapa produk utama non-migas yang ekspornya turun antara lain ampas/sisa industri makanan (HS 23) yang turun 27,80 persen; nikel dan barang daripadanya (HS 75) turun 17,16 persen; tembaga dan barang daripadanya (HS 74) turun 16,91 persen; bahan kimia anorganik (HS 28) turun 15,24 persen; serta kopi, teh, dan rempah-rempah (HS 09) turun 11,19 persen MoM. Penurunan ini terjadi di tengah perlambatan permintaan global, khususnya dari negara mitra dagang besar seperti Spanyol, Turki, Tiongkok. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana ketergantungan Indonesia pada sektor komoditas membuat perekonomiannya rentan terhadap dinamika eksternal.
Ketergantungan pada komoditas sebagai penggerak utama ekspor memiliki dampak struktural yang lebih dalam pada perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah fenomena ‘Dutch Disease’, penurunan harga komoditas seperti nikel, tembaga, dan kopi pada 2023 tidak hanya menunjukkan risiko ketergantungan pada ekspor sumber daya alam namun, menyebabkan melemahnya sektor-sektor lain seperti manufaktur. Ketika harga komoditas melonjak, nilai tukar meningkat, namun sektor non-komoditas kehilangan daya saing, yang dapat merugikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Fenomena ini menjadi lebih nyata ketika fluktuasi harga komoditas menyebabkan ketidakstabilan dalam perencanaan ekonomi dan fiskal pemerintah., tetapi juga memperkuat urgensi untuk diversifikasi ekonomi, agar perekonomian Indonesia tidak hanya bergantung pada harga global yang tidak dapat diprediksi.
Untuk mengatasi tantangan ini, diversifikasi ekonomi menjadi langkah yang tak terelakkan. Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan sektor-sektor non-komoditas seperti manufaktur, teknologi, dan jasa. Diversifikasi akan mengurangi ketergantungan pada harga komoditas global dan menciptakan fondasi yang lebih stabil bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selain itu, kebijakan yang mendukung daya saing seperti peningkatan infrastruktur, logistik, dan kualitas sumber daya manusia akan membantu Indonesia bertahan di tengah ketidakpastian global.
Pemerintah juga perlu menerapkan strategi jangka panjang, termasuk pembentukan “sovereign wealth fund” yang dapat menstabilkan pendapatan negara dari sektor komoditas dan membantu mengurangi inflasi akibat lonjakan harga komoditas. Investasi pada teknologi dan inovasi, serta mendorong masuknya investor asing, juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, berdasarkan permasalahan diatas pemerintah telah mulai mendorong hilirisasi industri sebagai salah satu upaya untuk menambah nilai pada produk ekspor dan mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah. Selain itu, reformasi fiskal yang mendukung investasi di sektor teknologi dan jasa menjadi langkah penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia tidak hanya mampu menjaga momentum pertumbuhannya dalam jangka pendek, tetapi juga membangun fondasi ekonomi yang lebih stabil dan tangguh untuk masa depan. Reformasi struktural yang mendukung diversifikasi sektor non-komoditas dan peningkatan daya saing akan menjadi kunci bagi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga Indonesia dapat menghadapi tantangan ekonomi global di tahun-tahun mendatang.
Sumber Gambar :
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.isellercommerce.com%2Fblog%2Fkomoditas-ekspor-indonesia&psig=AOvVaw21v7HAWy_bY79bCr5Z2_az&ust=1730099897521000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CBQQjRxqFwoTCOi6t8aCrokDFQAAAAAdAAAAABAE
Referensi :
Arif Rahman Hakim. (2023). Inilah Negara Penyumbang Surplus dan Defisit Neraca Perdagangan Indonesia. Diakses dari :
Arsyad, L. (2002). Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonom Daerah: Yogyakarta: BPFE
Krugman, P. R., Obstfeld, M., & Melitz, M. J. (2012). International Economics. Theory and Policy. In International Economics.
Agustin, H., Nur, M., & Nuriman, M. N. (2023). Pengaruh Ekspor Dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Management Studies And Entrepreneurship Journal, 4(2), 1362–1372.
Febriyanti, D. F. (2019). Effect Of Export And Import Of Gross Domestic Product In Indonesia 2008-2017. Jurnal Ecoplan, 2(1), 10–20.
Penulis : Abdurrahman Rifat