Bunga Bank dalam Persepektif Hukum Islam

KSEI UIN SAIZU PURWOKERTO
8 Min Read

 

Bunga  Bank  dalam  Persepektif  Hukum  Islam

 

Saat ini, kebanyakan orang pasti menggunakan jasa perbankan untuk menyimpan uang mereka. Selain mendapat jaminan keamanan atas uang mereka, nasabah juga mendapat keuntungan dari bank yaitu berupa bunga bank. Disaat keadaan inflasi dan banyak orang yang membutuhkan uang, bank justru menawarkan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi agar banyak orang yang menyimpan uangnya di bank. Inilah yang membuat daya tarik bank semakin besar bagi masyarakat. Dunia perbankan dengan sistem bunga kelihatannya semakin mapan dalam perekonomian modern, sehingga hampir tidak mungkin menghindarinya, apalagi menghilangkannya. Padahal bank pada saat ini merupakan kekuatan ekonomi masyarakat modern, terutama di negara-negara Barat.Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman.)Sedangkan dalam Islam, bunga bank dikenal dengan istilah riba. Islam tidak mengakui sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bunga bank. Beda pandangan dalam menilai persoalan bunga bank akan memunculkan kesimpulan-kesimpulan fiqih yang berbeda pula, dalam hal halal haramnya dan boleh tidaknya. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest.

Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan bahwa “interest is charge for financial loan, usualy a percentage of the amountloaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanyadinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest” yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau presentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal” Ada yang membedakan antara riba dan rente (bunga) seperti Muhammad Hatta. Mantan wakil presiden RI, sebagaiman dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif, demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest adalah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi dalam realitas atau praktek menurut Maulana Muhammad Ali yang dikutip oleh Muhammad bahwa sukar untuk membedakan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua-duanya memberatkan bagi para peminjam.

Oleh karena itu, sejarah masyarakat Barat terlihat jelas bahwa “interst” dan “usury” yang telah dikenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam presentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar yang sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-‘uluw) dan meningkat (alirtifa’).  Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Menurut terminologi syara, ulama fikih sependapat bahwa riba adalah tambahan atau sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa ‘iwad (ganti). Menurut Muhammad Syafi’I Antonio, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan alih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak banAda beberapa hal yang menjadi masalah kontroversial seputar bunga yang terjadi di kalangan para tokoh Islam antara argumen terhadap pembenaran konsep bunga dikemas dalam bentuk bersifat ilmiah dan argumensebagai bantahan dan kritikan terhadap teori-teori yang dikemukan kalangan yang membenarkan adanya bunga.

Pada persoalan tingkat bunga, pada tingkat yang wajar maka bunga dibolehkan. Namun tingkat bunga wajar sangat subjektif tergantung pada waktu, tempat, jangka waktu, jenis usaha dan skala usaha. Aspek ini juga terdapat pada ayat pelarangan riba tahap ketiga yang terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 130 merupakan ayat pertama yang menyatakan secara tegas terhadap pengharaman riba bagi orang Islam. Larangan ini merujuk kepada apa yang dipraktekkan oleh orang-orang Arab pada masa itu, dengan cara menambah bayaran jika hutang tidak bisa dibayar ketika jatuh tempo. Perkataan berlipat ganda dalam ayat ini merupakan ciri hutang zaman jahiliah yang senantiasa bertambah sehingga menjadi berlipat ganda. Bukan berarti bunga yang dikenakan yang tidak berlipat ganda menjadi halal. Jadi walaupun tidak berlipat ganda berarti bunga tetap tidak halal. Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang selanjutnya Q.S. al-Baqarah [2]: 275-276 dan 278-279 (ayat terakhir turun tentang proses pengharaman riba), telah secara tegas menyatakan setiap tambahan melebihi pokok pinjaman termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap bunga baik bersuku rendah, berlipat ganda, tetap maupun berubah-ubah bahkan sisa-sisa riba sekalipun dilarang. Ayat ini secara total mengharamkan riba dalam bentuk apapun.

Beberapa tokoh berbeda pendapat tentang riba yang diharamkan adalah riba yang bersifat berlipat ganda. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad, yang menafsirkan riba sebagai usury yang berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang tinggi dan bukan interest (bunga yang rendah). Adanya perbedaan penafsiran terhadap interest dan usury ini membawa konsekuensi problem konseptual yang serius sehingga timbul perbedaan pendapat terhadap kategori riba yang diharamkan. Jika merujuk kepada pendapat tafsiran Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad maka bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan. Senada dengan pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Abd al-Wahab Khallaf, Mahmud Shaltut. Mereka berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda dan tidak termasuk riba yang kadarnya rendah. Mereka memahami sesuai dengan konteks ayat riba yang mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sanhuri juga menganggap sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Saeed, bahwa bunga yang rendah atas modal adalah halal atas dasar kebutuhan. Ia menambahkan bahwa hukum harus menentukan batas-batas suku bunga, metode pembayaran dan total bunga yang harus dibayar. Namun pendapat terakhir ini mempunyai beberapa kelemahan, karena sepanjang sejarah tingkat (kadar) suku bunga berbeda-beda (fluktuatif) mengikuti keadaan, baik dari segi waktu dan tempat. Oleh karena itu sukar untuk menentukan tingkat suku bunga yang tinggi atau yang rendah berdasarkan waktu dan tempat.

Sumber : Makalah Bunga Bank Dalam Perspektif Hukum Islam

TAGGED:
Share this Article
3869 Comments